Kamis, 12 Januari 2012

Inspirasi Alam Untuk Pengalaman Hidup.




Upaya Pelestarian Hutan Berdasarkan Kearifan Lokal Masyarakat di Desa Adat Penglipuran, Bangli

Upaya Pelestarian Hutan Berdasarkan Kearifan Lokal Masyarakat di Desa Adat Penglipuran, Bangli
Oleh :
I Ketut Catur Wiguna, dkk

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hutan adalah sebuah kawasan yang luas dan ditumbuhi oleh berbagai macam tumbuhan. Hutan merupakan bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia, baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin. Hutan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator siklus hidrologis, serta penjaga kesuburan tanah. Oleh sebab itu, hutan merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting.
Di Bali, kondisi hutan sudah sangat memprihatinkan. Walhi dalam publikasinya 24 November 2006 menyebutkan, dari 127.271 hektar total luas hutan di Bali, sekitar 31.817,75 hektar atau 25% di antaranya telah mengalami konversi (perubahan) fungsi lahan. Perubahan fungsi lahan hutan disebabkan beberapa hal, antara lain perambahan kawasan hutan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang berdiam di sekitar hutan, penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan dan penebangan liar (Bali Post,2006).
Berdasarkan fungsinya, hutan di Bali digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Hutan lindung berfungsi sebagai perlindungan tata air dan tanah serta sebagai pendukung kehidupan habitat flora dan fauna. Fungsi lainnya adalah sebagai pendukung pariwisata, budaya, kesehatan, pendidikan dan penelitian. Luas hutan lindung di Bali mencapai 95.766,06 hektar atau sekitar 73% dari luas keseluruhan hutan di Bali.
Hutan konservasi adalah hutan untuk perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan kawasan serta tempat berbagai jenis flora dan fauna. Di Bali, hutan konservasi terdapat di beberapa daerah, antara lain di Taman Nasional Bali Barat (TNBB), kawasan Cagar Alam Batukaru, di sekitar Gunung Batur (Bangli), Taman Wisata Alam Bedugul dan Sangeh. Hutan produksi di Bali terkonsentrasi di daerah Bali Barat, seperti di Kabupaten Buleleng seluas 4.731,95 hektar dan di Kabupaten Jembrana seluas 2.993,30 hektar, sementara di kabupaten lainnya relatif kecil.
Kementerian kehutanan sesungguhnya telah membentuk kesatuan pengelolaan hutan (KPH) untuk mengatasi berbagai persoalan kehutanan, khususnya alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan areal pemukiman. Kementerian Kehutanan meyakini lewat kebijakan KPH, hutan bisa ditata secara baik sesuai fungsi pokok dan peruntukannya menuju pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. Meskipun demikian, sejumlah masyarakat menilai kebijakan KPH hanya menguntungkan pihak pengusaha.
Upaya mempertahankan kelestarian hutan sesungguhnya telah dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Bali, dimana pengelolaan hutan diserahkan kepada desa adat. Terjaganya kelestarian hutan yang dikelola oleh desa adat di Bali tidak terlepas karena peran pemangku adat yang memimpin pengelolaan hutan berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal desa adat setempat. Salah satu desa adat yang terkenal karena keteraturan sistem sosial masyarakat dan kelestarian hutannya adalah Desa Adat Penglipuran.
Sekitar 75 hektar atau lebih dari 50 persen dari total lahan seluas 112 hektar di Desa Adat Penglipuran adalah hutan bambu. Hutan itu mengelilingi hampir seluruh wilayah desa, mulai dari arah timur laut desa, utara, barat, dan selatan. Kelestarian hutan bambu tetap terjaga karena memberikan penghidupan sekaligus perlindungan yang telah disadari oleh masyarakatnya. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi yang terjadi di kawasan Bali lainnya, khususnya kawasan Bali Selatan yang sarat akan modernisasi yang berasal dari pengembangan sektor pariwisata. Berdasarkan masalah tersebut, maka perlu dikaji berbagai upaya yang telah dilakukan masyarakat Desa Adat Penglipuran dalam melestarikan hutan dengan berdasarkan pada kearifan lokal setempat.
1.2 Rumusan Masalah
1)      Bagaimanakah profil umum Desa Adat Penglipuran yang meliputi sejarah, kondisi topografi dan demografi masyarakatnya?
2)      Bagaimanakah ekologi komunitas hutan di Desa Adat Penglipuran?
3)      Bagaimanakah upaya yang telah dilakukan masyarakat Desa Adat Penglipuran dalam melestarikan hutan?

1.3 Tujuan
1)      Untuk mengetahui profil atau gambaran umum Desa Adat Penglipuran khususnya mengenai sejarah perkembangan desa, kondisi topografi serta struktur demografi masyarakat.
2)      Mengetahui ekologi komunitas hutan di Desa Adat Penglipuran.
3)      Untuk mengetahui upaya masyarakat Desa Adat Penglipuran dalam melestarikan dan memberdayakan hutan desa.
1.4 Manfaat
1)      Menambah pengetahuan mengenai profil Desa Adat Penglipuran yang merupakan salah satu desa tujuan wisata di Bali, yang meliputi sejarah perkembangan desa, kondisi topografi wilayah, serta struktur kehidupan sosial masyarakat.
2)      Memahami ekologi komunitas hutan Desa adat Penglipuran serta jenis vegetasi yang mendominasi areal hutan dan perkebunan.
3)      Menambah wawasan mengenai upaya yang dapat dilakukan untuk memberdayakan dan melestarikan hutan dengan berdasarkan pada kearifan budaya lokal.

BAB II
METODE PENELITIAN

Untuk pengumpulan data dalam penyusunan laporan ini, metode penelitian yang penulis lakukan sebagai berikut.
1)   Observasi
Dalam penelitian ini, data diperoleh melalui observasi atau pengamatan secara langsung di areal Desa Penglipuran. Observasi adalah pengamatan langsung terhadap lingkungan fisiknya atau pengamatan langsung suatu kegiatan yang sedang berjalan.
a. Tempat dan Waktu Penelitian
Observasi dilakukan pada Hari Selasa, 8 November 2011 bertempat di Desa Penglipuran. Desa Adat Penglipuran berlokasi di Kabupaten Bangli yang berjarak 45 km dari Kota Denpasar dan berada di jalan utama Kintamani–Bangli. Desa Penglipuran ini juga tampak begitu asri, keasrian ini dapat kita rasakan begitu memasuki kawasan desa.
b. Prosedur Observasi
Secara deskriptif, uraian langkah-langkah yang ditempuh selama melakukan penelitian adalah seperti berikut ini.
-     Mengajukan surat ijin observasi
Surat pengantar penelitian yang diberikan oleh pihak  kampus MIPA Undiksha Singaraja ditujukan kepada pimpinan wilayah Desa Penglipuran. Pada surat tersebut juga dilampirkan instrument penelitian berupa lembar observasi dan lembar wawancara, terkait dengan topik penelitian yang dilakukan. 
-  Mengobservasi hutan, demografi, sosio-kultural
Setelah mendapatkan ijin dari pimpinan wilayah desa Penglipuran maka dilanjutkan dengan melakukan penelitian sesuai dengan instrumen penelitian.
-  Melakukan dokumentasi hasil observasi
Dokumentasi hasil observasi dibuat dalam bentuk foto yang menunjang kajian penelitian. 
2)  Wawancara
            Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi dengan sumber data. Komunikasi tersebut dilakukan dengan dialog (tanya jawab) secara lisan, baik langsung maupun tidak langsung. Wawancara adalah alat untuk memperoleh data atau fakta atau informasi dari seorang secara lisan.
            Dalam penelitian ini, sesuai dengan surat yang diberikan kepada pimpinan wilayah, wawancara dilakukan dengan narasumber yang berkompeten yang dapat memberikan data sesuai dengan pedoman wawancara yang ada. Wawancara dilakukan dengan menemui beberapa narasumber yakni Bendesa Pekraman Penglipuran dan Kepala Desa Penglipuran.
            Adapun pedoman wawancara yang dijadikan acuan adalah seperti tabel 2 berikut ini. Dalam tabel tersebut hanya tercantum pertanyaan utama, dan kemungkinan pertanyaan utama tersebut akan diperluas sesuai dengan alur data yang diberikan narasumber.
Tabel 1. Pedoman Wawancara
No.
Daftar Pertanyaan Wawancara
Narasumber
Jawaban
Ket.
1.
Hutan
·     Luas
·     Vegetasi
·     Fauna
·     Metode Pengelolaan



2.
Demografi
·     Jumlah Penduduk Keseluruhan
·     Jumlah Penduduk Pria
·     Jumlah Penduduk Wanita
·     Pekerjaan Penduduk
·     Agama




3.
Pola Tata Ruang
·     Luas Desa
·     Luas Pemukiman
·     Luas Areal Budidaya
·     Luas Areal Lainnya
·     Pedoman Pengelolaan Tata Ruang Wilayah
·     Implementasi Pengelolaan Tata Ruang Wilayah



4.
Sosio-Kultural
·     Karakteristik Pengelolaan Parahyangan
·     Karakteristik Pengelolaan Pawongan
·     Karakteristik Pengelolaan Palemahan




3)  Tinjauan Pustaka
Sumber atau literatur yang penulis gunakan meliputi buku-buku yang relevan, artikel-artikel surat kabar, serta dokumen-dokumen diperoleh dari berbagai sumber salah satunya yaitu penelusuran data dan informasi melalui internet (browsing). Data-data tersebut kemudian digunakan sebagai pegangan pokok sehingga data-data dan informasi yang penulis susun dalam makalah ini sesuai dengan yang dipaparkan pada sumber tertulis dan data terpercaya melalui internet tersebut.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1        Gambaran Umum Desa Adat Penglipuran
3.1.1  Sejarah Desa Adat Penglipuran
Desa Adat Penglipuran sudah ada sejak 700-an tahun yang lalu, yaitu pada zaman kerajaan Bangli. Meneurut penuturan para sesepuh/ penglingsir, desa Penglipuran merupakan sepihan dari desa Bayung Gede, Kintamani. Kata Penglipuran berasal dari kata “Pengeling dan Pura” yang artinya pengeling. Eling = ingat/ mengingat dan pura = tempat/ benteng/ tanah leluhur. Jadi penglipuran artinya ingat kepada tanah leluhur/ tempat asal mulanya. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa pendahulu/ leluhur Desa Penglipuran berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani. Karena letak jarak antara Kota Raja Bangli dengan Desa Bayung Gede sangat jauh (sekitar 25 km) dan perjalanan jaman dulu dengan jalan kaki dan maksimal naik kuda, maka untuk memudahkan komunikasi dibuatlah semacam peristirahatan di daerah Kubu (4,5 km) dari kota Bangli. Dari waktu ke waktu akhirnya warga ini terus bertambah banyak karena sudah ada yang berkeluarga dan sudah layak untuk menjadi desa. Sebelum bernama Penglipuran, desa ini dulunya bernama desa Kubu Bayung yang artinya orang Bayung yang tinggal di wilayah Kubu.
Selanjutnya penduduk ini terus bertambah dan sepakat untuk membuat desa sendiri dan terlepas dari kewajiban desa asalnya (Bayung Gede) dan membuat tempat suci sendiri (Pura Kahyangan Tiga). Namun dalam penataan pola tata ruang desanya membuat konsep desa leluhurnya yang ada di desa Bayung Gede. Sehingga pola tata ruang desa Penglipuran, adat/ budaya, fisik maupun non fisik yang diterapkan disesuaikan dengan desa Bayung Gede. Itulah sesbabnya desa ini disebut dengan desa Pengipuran. Tetapi dipihak lain para penglingsir ada yang berpendapat bahwa desa Penglipuran berasal dari kata “penglipur” yang bearti penghibur. Yang mana konon pada jaman kerajaan dulu Raja Bangli sering pergi ketempat ini untuk meghibur diri/ menenangkan pikiran beliau.

3.1.2  Topografi Wilayah dan Kependudukan Desa Adat Penglipuran
Desa adat Penglipuran terletak di Kelurahan Kubu di Kecamatan Bangli, Kabupaten Dati II Bangli. Luas desa adat Penglipuran kurang lebih 112 ha, dengan batas wilayah desa adat Kubu di sebelah timur, di sebelah selatan desa adat Gunaksa, dan di sebelah Barat desa adat Cekeng, sedangkan di sebelah utara desa adat Kayang. Desa adat ini terletak pada ketinggian 500 M - 600 M di atas permukaan air laut. Desa Adat Penglipuran terletak pada jalur wisata Kintamani, sejauh 5 Km dari pusat kota Bangli, dan 45 Km dari pusat kota Denpasar.
Berdasarkan data tahun 2001, Desa Adat Penglipuran memiliki luas wilayah sekitar 112 Ha dengan jumlah penduduk 832 jiwa dengan 193 KK. Mata pencaharian penduduknya sebagian besar adalah bertani dan beternak, selebihnya ada yang bekerja sebagai tukang, pengrajin, pegawai, serta pedagang. Seluruh warga Desa Adat Penglipuran beragama Hindu dengan kasta Sudra, yang merupakan kasta terendah dalam sistem kasta di Bali, namun keadaan ini tidak membuat  warganya berkecil hati, justru hal ini menjadi motivasi bagi warga desa penglipuran untuk menunjukkan eksistensinya sebagai desa Bali Aga (desa adat tradisonal) yang bisa menjadi tujuan wisata.
Desa Adat Penglipuran secara kelembagaan terbagi menjadi 2 yakni : Lembaga adat yang dipimpin oleh adat atau yang disebut dengan Kelian adat dan dibantu oleh 2 orang penyarikan. Lembaga adat merupakan lembaga otonom, yang tidak ada hubungan stuktural dalam pemerintahan. Adapun fungsi dari lembaga adat adalah berkatan dengan pelaksanaan upacara yadnya keagamaan/ adat, serta dalam pembangunan dan pemeliharaan tempat suci/ pura. Jumlah warga (krama) Desa Adat Penglipuran adalah sebanyak 76 orang, yang disebut sebagai warga/krama desa pengarep. Krama desa pengarep ini bertanggungjawab penuh terhadap pembangunan fisik dan non fisik di desa ini. Dari jumlah 76 orang karma pengarep ini dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
a.              45 orang warga pengarep yang memiliki tanah ayah desa (AYDS) yang letaknya tidak hanya di wilayah desa Penglipuran saja namun berlokasi diluar desa adat seperti, Cekeng, Sidem Bunut, Tanggahan Gunung, dan Buungan.
b.             31 orang warga desa pengarep Roban yang tidak punya tanah AYDS, namun oleh desa diberikan nyakap tanah Laba Desa (tanah adat) dengan sistem kontrak dengan sejumlah beras.
Namun dari 2 kelompok desa tadi yaitu dari desa pengayah dan desa Roban, mempunyai kedudukan, hak serta kewajiban yang sama. Selain lembaga adat, terdapat Lembaga formal/ dinas yang dipimpin oleh Kepala Lingkungan atau kelian banjar yang merupakan aparatur pemerintah terkecil. Dibawah lembaga formal ada organisasi lain seperti kegiatan PKK, (istri dari banjar dinas) yang sangat menunjang dalam membantu kegiatan didesa khususnya bidang pembinaan kesejahteraan keluarga, Posyandu yang memberikan pelayanan kesehatan pada ibu dan anak balita, Pokdarwis (kelompok Sadar Wisata). Seusai kegiatan tersebut dilakukan pula kegiatan gotong royong untuk menjaga kebersihan dengan menyapu jalan utama, pura, dan balai banjar serta tempat umum lainnya.         

3.1.3  Adat Istiadat dan Budaya Desa Adat Penglipuran
Masyarakat Desa Penglipuran yang keseluruhannya beragama Hindu ini memiliki Tata ruang Desa Penglipuran yang khas dengan konsep trimandala,  dibagi ke dalam tiga ruang yang berbeda secara fungsi dan tingkat kesucian, yaitu utama, madya dan nista. Letak ketiga ruang ini membujur dari utara (gunung) ke selatan (laut), dengan jalan desa lurus berundak sebagai poros tengah, memisahkan  ruang madya  menjadi dua bagian.  Di paling utara pada zona utama atau “ruang pada dewa”, berdiri bangunan suci pura bernama Penataran tempat beribadah para penduduk desa. Adapun zona madya atau “ruang manusia” terdapat 76  kaveling pekarangan dan rumah tempat bermukim warga terbagi ke dalam dua jajaran, yaitu barat 38 dan timur 38. Jalan desa sebagai pemisah dipertahankan bebas dari kendaraan roda empat dan tidak menggunakan aspal tetapi paving block dan batu sikat. Bagian paling selatan adalah nista mandala atau “ruang bagi manusia yang telah meninggal” berupa tempat pemakaman penduduk desa.
Rumah setiap keluarga dalam setiap kaveling tampak hampir seragam semuanya, berada dalam pekarangan dan dibatasi oleh pagar tembok serta memiliki gerbang khas Bali yaitu angkul-angkul yang terbuat dari tanah sebagai pintu masuk. Setiap pekarangan mempunyai  beberapa bangunan berupa ruangan tidur, ruangan tamu, dapur, balai-balai, lumbung dan tempat sembayang dalam rumah. Bangunan berarsitektur tradisional dengan material tiang dari kayu dan atap yang khas berupa sirap bambu.
Dilihat dari segi tradisi, desa adat ini menggunakan sistem pemerintahan hulu apad. Pemerintahan desa adatnya terdiri dari prajuru hulu apad dan prajuru adat. Prajuru hulu apad terdiri dari jero kubayan, jero kubahu,  jero singgukan,  jero cacar,  jero balung dan jero pati.  Prajuru hulu apad otomatis dijabat oleh mereka yang paling senior dilihat dari usia perkawinan tetapi yang belum ngelad. Ngelad atau pension terjadi bila semua anak sudah kawin atau salah seorang cucunya telah kawin. Mereka yang baru kawin duduk pada posisi yang paling bawah dalam tangga keanggotaan desa adat.
Sistem lingkungan yang berteras dapat berfungsi mencegah erosi, dan kelangsungan topografi desa yang miring/melereng dari arah utara ke selatan. Kondisi alam ini mengharuskan setiap warga dan para wisatawan untuk berjalan mendaki jika ingin melihat keindahan desa adat. Dibagian atas desa terdapat hutan bambu dan hutan kayu yang terpelihara sehingga menambah sejuknya suasana desa dan menjaga/menahan air sehingga terhindar dari erosi. Hutan bambu yang ada merupakan bambu dari jenis bambu tali, biasanya dipakai untuk bahan kerajinan. Warga masyarakat dapat memanfaatkan bambu untuk keperluan mereka, namun bambu yang diambil harus bambu yang cukup umur dengan sistem tebang pilih. Hal ini di lakukan untuk menjaga kelangsungan dan keasrian hutan bambu tersebut.
Selain keseragaman bentuk bangunan tradisi yang ada di desa ini adalah adanya pekarangan memadu.  Pekarangan ini merupakan tanah kosong  yang disediakan untuk warga desa adat penglipuran yang diasingkan karena melakukan pelanggaran adat  berupa menikah lagi/berpoligami.  Masyarakat Desa penglipuran menganut paham monogami, sehingga setiap perbuatan poligami merupakan pelanggaran adat dan pelakunya harus diasingkan di pekarangan memadu yang terletak di Selatan desa/paling bawah. Dan bagi warga yang melakukan poligami tersebut berserta anak keturunannya akan diasingkan  dan disediakan pekarangan dan kalau perlu akan dibangunkan rumah oleh adat  untuk tempat tinggal, namun mereka tidak boleh memasuki desa adat dan tidak boleh mengikuti upacara adat.  Sampai saat ini belum ada yang berani melanggar aturan adat tersebut dan pekarangan tersebut masih kosong dan oleh penduduk desa dianggap sebagai karang leteh (tempat yang kotor).
Keunikan desa adat Penglipuran adalah walaupun beragama hindu, masyarakat penglipuran memiliki kuburan desa. Upacara Ngaben yang dilakukan hanya untuk mengantarkan roh orang yang meninggal kepada sang pencipta. Kuburan desa ini rata dengan tanah tidak ada tanda/nisannya dan dibagi dalam 3 bagian, yakni untuk anak-anak dibawah 12 tahun, untuk orang yang meninggal secara biasa (sakit) dan kuburan untuk orang yang meninggal secara tidak wajar, biasanya disebabkan karena kecelakaan, dibunuh dan lain-lain.
Hal yang unik dan khas lainnya di penglipuran adalah tidak ada tempat sampah di jalan utama desa adat, hal ini selain dikarenakan adanya “awig-awig” tersebut, juga karena mengubah kebiasaan warga desa yang biasa menyapu di pagi dan sore hari, karena warga jadi malas menyapu dan akhirnya banyak sampah menumpuk dan di “acak-acak” anjing warga, sehingga jalan utama menjadi kotor. Untuk pengelolaan sampah rumah tangga, untuk sampah plastik dan kertas dibakar langsung pada waktu memasak, sampah sisa makanan di gunakan sebagai pakan ternak, dan untuk sampah daun dan lainnya sebagian ada yang langsung dibakar dan ada pula yang di taruh di tempat sampah desa di dekat balai banjar. Kebiasaan masyarakat untuk hidup bergotong royong dan mencintai kebersihan serta memiliki budaya malu yang tinggi menjadikan desa penglipuran menjadi desa yang bersih dan nyaman dalam upaya menuju pariwisata sehat.
3.2 Ekologi Komunitas Hutan Desa Adat Penglipuran
Dilihat dari komponen-komponen dasar sistem sosiokultural (Sanderson, 1995:61) ternyata ekologi merupakan bagian dari struktur material bersama-sama dengan teknologi, ekonomi, dan demografi. Keempat bagian dari infra struktur materail merupakan bagian yang paling mudah berubah, baik karena pengaruh dalam bagian-bagian dari infra struktur maupun oleh struktur sosial dan superstruktur ideologis dengan bagian-bagiannya. Ekologi menyebabkan orang-orang melakukan adaptasi agar terjadi keselarasan dan kelestarian lingkungan. Interaksi antara alam dan manusia serta hubungan-hubungannya dalam bingkai ekologi, menempatkan posisi manusia pada sikap tunduk, selaras, dan menguasai alam atas dasar tantangan dan kebutuhan hiudupnya yang diperoleh atas dasar pengalaman demi pengalaman yang dipecahkan melalui teknologi sederhana sampai dengan yang rumit (Salain, 1998:72).
Komunitas Penglipuran, sebagai pemukiman tradisional di daerah pegunungan yang diperkirakan keberadaannya mulai abad ke-11 pada era Bali Aga dan kini setelah sekian abad berlalu memasuki era globalisasi masih tetap bertahan dengan beberapa perubahan kecil tanpa kehilangan makna yang dikandungnya. Sebagai suatu lingkungan pemukiman tampaknya seluruh denyut kehidupan mereka tidak dipengaruhi ataupun juga ketergantungan dengan wilayah lainnya. Semangat kemandirian dan kebersamaan "solidaritas" mereka sangat kuat dan dipercaya telah mereka miliki sejak nenek moyang mereka pertama kali berada di Penglipuran dari Bayung Gede. Setelah pola menetap dikenal dari kehidupan yang berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya sebagai suatu perjalanan tradisi maka unsur tanah yang subur dan adanya sumber air merupakan suatu persyaratan suatu lokasi pemukiman. Umumnya lokasi-lokasi yang subur berada pada daerah di sekitar gunung berapi.
Dekatnya jarak pemukiman penduduk dengan gunung (gunung Batur), dari beberapa kali letusannya terkirimlah debu-debu yang lama-lama menyatu dengan tanah sekaligus memperkaya endapan mineralnya, yang umum disebut sebagai tanah lempung berpasir kemerahan ( latosol ) yang sangat subur bagi lahan pertanian. Proses alamiah kesuburan tanah oleh adaptasi alam yang berlangsung dari tahun ke tahun memperkuat keyakinan mereka dari generasi ke generasi untuk tetap tinggal di tempat tersebut karena terjaminnya kepercayaan akan nilai magis dan religius terhadap gunung. Mereka membuat orientasi simbolik pemukimannya ke arah gunung "hulu" yang sekaligus dimanifestasikannya sebagai areal yang paling suci (sakral). Adanya sumber air di sebelah barat areal pemukiman berupa aliran air dari utara ke selatan yang dikenal dengan sungai Sangsang yang bertebing curam juga bermanfaat sebagai pertahanan sekaligus keamanan bagi serangan-serangan yang datang dari barat. Penduduk percaya bahwa air dapat "membersihkan" atau "mensucikan" diri ataupun juga melalui air dapat menyembuhkan penyakit.
Air sangat penting dan berarti dalam kehidupan masyarakat di Penglipuran Bangli. Mereka pun karena perjalanan waktu dan lingkungan budaya yang terjadi percaya bahwa air merupakan bentuk atau manifestasi Dewa Wisnu sebagai pemelihara kehidupan ataupun juga dikenal sebagai Dewi Ulun Danu karena mereka yakin bahwa sumber air berasal dari Danau Batur (yang berada sekitar 15 km di sebelah utara desa Penglipuran). Tanpa air tidak akan ada kehidupan di muka bumi ini dan itu berarti ekosistem tidak akan berlangsung. Itu sebabnya mereka memelihara dan memanfaatkan sumber air sebagai sumber kehidupan dan kelangsungan hidupnya.
Hal lain yang memberi nuansa terhadap ekologi alam di Penglipuran, adalah keterkaitan dengan letaknya yang berada pada dataran tinggi (antara 500-600 meter di atas permukaan laut), suhu rata-rata berkisar antara 18 0 - 32 0 Celcius, dan curah hujan rata-rata   setiap tahunnya antara 2000-2500 milimeter, menyebabkan suhu rata-rata relatif sejuk. Kesejukan dan iklim sedang yang menyelimuti Desa Penglipuran merupakan suatu faktor keberuntungan ataupun juga sebagai modal dasar untuk pengembangan pertanian dan peternakan. Dari total seluruh luas desa tradisional Penglipuran yaitu 112 ha, terdiri dari 5,5 ha pekarangan, 75 ha hutan bambu, 10 ha hutan vegetasi lainnya dan 21,5 ha lahan pertanian.
a.         Hutan Bambu
Hutan bambu yang berada di wilayah lingkungan Penglipuran sangat bermanfaat bagi ekologi alam. Pohon-pohon bambu tersebut dapat memperkuat tebing-tebing pada sisi Utara dan Barat desa dari erosi, menyimpan kandungan air, serta menyuburkan tanah akibat pelapukan daunnya. Di samping itu, bambu bagi komunitas Penglipuran juga bermanfaat sebagai bahan-bahan bangunan, alat-alat rumah tangga, dan alat-alat upacara. Perkembangan selanjutnya bambu juga dimanfaatkan sebagai penyangga ekonomi seperti yang dituturkan salah satu tokoh masyarakat. Beliau menyebutkan sedikitnya ada tujuh jenis bambu (tiing) di Penglipuran. Pengklasifikasian jenis-jenis bambu ini  didasarkan pada diameter batang, serat batang, kebersihan kulit atau warna kulit bambu. Contohnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Jenis-jenis bambu yang ada di Desa Penglipuran
No
Nama Bambu
Ciri-ciri
Fungsi
1
Tiing Jajang
Diameter batang 9- 11 cm,
seratnya agak besar, warna kulit bersih.
Atap rumah
( sirap )
2
Tiing Tali
Diameter batang 8 -9 cm, seratnya kecil-kecil, warna kulit bersih.
Tali pengikat untuk bangunan ( tali tutus )
3
Tiing Jajang Batu
Diameter 9 - 11 cm, seratnya
agak besar, kulitnya tidak
terlalu bersih.
Cerangcang/ dinding rumah.

4
Tiing Jajang Taluh
Diameter 8 -9 cm, seratnya
kecil-kecil, kulitnya bersih .
 Sebagai Pagehan, bedeg
5
Tiing Jajang Papah
Diameter 8 -9 cm, seratnya kecil-kecil, kulitnya paling bersih. 

Anyaman bambu untuk dinding rumah (Bedeg) yang kualitasnya paling bagus.

6
Tiing Lepung
Diameternya 15 - 16 cm, seratnya besar, kulitnya bersih.
Tiang bangunan.
7
Tiing Tultul
Diametr 8 - 10 cm, warnanya
kekuningan berisi bintik- bintik hitam kecoklatan.

Anyaman bambu untuk dinding rumah (Bedeg) kualitas biasa.
Melalui bambu, Penglipuran bisa dikenal di tingkat nasional oleh pemerintah sebagai penerima penghargaan Kalpataru pada tahun 1995 yang lalu. Adanya ke empat potensi sumber daya alam berupa tanah yang subur, sumber air, iklim yang mendukung, serta hutan bambu, menjadikan Penglipuran sebagai suatu komunitas tetap eksis sampai saat ini seiring dengan perubahan waktu tanpa harus merubah rantai ekologis ke empat potensi tersebut di atas.
Dengan kearifan lokal yang dimiliki, sehingga mereka dapat menjaga kelestarian hubungan antara tanah, air, iklim, dan hutan bambu. Bambu dan tanah dalam pengelolaannya akan berdampak pada air dan iklim sesuai dengan skalanya pada daerah kasus (dampak juga diakibatkan oleh wilayah sekitarnya). Bila bambu ditebang habis maka akan terjadi erosi, endapan air, dan hilangnya kesuburan tanah. Kemudian bila tanah dijual atau berubah fungsi maka akan terjadi perubahan ekosistem yang pada hasilnya nanti akan mempengaruhi pula pola pemikiran, tingkah laku dan lain-lainnya pada manusia. Potensi utama tidak beralihnya kepemilikan sekaligus fungsi tanah adalah karena konsep kebersamaan mereka dan tidak adanya pemikiran perorangan dalam wilayah pemukiman Penglipuran. Semua tanah dari pekarangan rumah, sawah, tegalan, hutan, dan lain-lainnya adalah milik desa yang dikenal dengan tanah laba pura, atau tanah di luar areal pura sebagai kekayaan yang hasilnya untuk segala keperluan pura, tanah milik " padruwen " desa adat, karang kerti atau pekarangan rumah, tanah ayahan desa atau dikenal dengan AYDS ( Awig-awig Desa Adat Penglipuran, Palet 5, Paos 25, ayat 2, 1989:8).
b.        Hutan Kayu
Di samping memiliki hutan bambu yang cukup luas, desa adat Penglipuran juga memiliki hutan adat yang dikenal sebagai hutan kayu laba pura yang menjadi milik desa adat (Awig-awig Desa Adat Penglipuran, Palet 5, Paos 25, ayat 2, 1989:8) memiliki luas sebesar 3Ha. Hasil penelitian Sarna, et al (1993) menyatakan bahwa dari sekitar 20% luas areal hutan kayu Laba Pura yang diamati sebagai kawasan kajian, ternyata menyimpan 60 jenis tumbuhan tinggi dengan jumlah total individu sebanyak 700 individu spesies. Dari 60 jenis tumbuhan tersebut, yang paling banyak yaitu Dysoxylum sp.(Majegau) yang merupakan maskot tumbuhan propinsi Bali. Berikut ini merupakan tabel mengenai jenis spesies dan jumlah pohon yang tumbuh di hutan adat desa Penglipuran.




Tabel 3. Keberadaan spesies di hutan adat Desa Penglipuran (Dwipayana,2010)
No
Nama Ilmiah
Jumlah Individu
1
Dysoxylum sp.
45
2
Garcinia sp.
5
3
Lerak
1
4
Arthocarpus integra Merr.
3
5
Glochidion molle BI
39
6
Linderia polyantha Boerl.
2
7
Ardisia sp.
2
8
Talauma chandolii L.
2
9
Psychotria sp.
1
10
Syzygium polyanthum Walp.
1
11
Symplocos theaefolia D.Don.
1
12
Syzygium polychepallum Merr.
8
13
Falcourtia rucam Z & M
2
14
Michelia alba DC
1
15
Gnetum gnemon L.
7
16
Garcinia dulcis Kurth.
1
17
Turpinia sp.
7
18
Buchanania arborens BI.
2
19
Erythrina variegate L.
4
20
Morinda tomentosa Roth.
6
21
Polyscias sp.
3
22
Garcinia celebica L.
7
23
Bisscofhia javanica BI
2
24
Hypobathrum microcarpus BI
4
25
Syzygium anticeptum Merr.
6
26
Mangifera indica L.
1
27
Theobroma cacao
1
28
Cananga odoratum L.
1
29
Lancium domesticum
2
30
Piscrasma sp.
26
31
Michelia champaca L.
1
32
Syzygium racemosum BI
1
33
Arthocarpus blumeii Trecul.
2
34
Syzygium zollingerinum Amsh.
1
35
Michelia sp.
4
36
Dysoxylum caolostachyum
13
37
Hypobathrum sp.
2
38
Arenga piƱata Merr.
13
39
Parinari corymbosum BI
20
40
Antidesma bunius L.
16
41
Morinda sp.
4
JUMLAH
270
Keberadaan hutan kayu Laba Pura Desa Adat Penglipuran adalah sebagai penyangga pemeliharaan bangunan pelinggih di Pura Desa. Artinya untuk keperluan perbaikan pura, masyarakat akan mencari kayu di kawasan hutan tersebut yang didahului dengan upacara nunas (memohon) sebelumnya (Sarna et al, 1993). Keberadaan hutan kayu Laba Pura Desa Adat Penglipuran adalah sebagai penyangga pemeliharaan bangunan pelinggih di Pura Desa. Artinya untuk keperluan perbaikan pura, masyarakat akan mencari kayu di kawasan hutan tersebut yang didahului dengan upacara nunas (memohon) sebelumnya (Sarna et al, 1993). Selain itu hutan ini berperan dalam menjaga siklus hidrologis di desa adat Penglipuran sehingga sangat dijaga kelestariannya oleh masyarakat di kawasan tersebut.

3.3 Upaya Pelestarian Hutan di Desa Penglipuran
Kelestrian hutan di Desa Bali Aga ini masih terjaga berkat adanya upaya pelestarian baik itu dari masyarakat setempat dan campur tangan dari pemerintah. Hutan yang terdapat di Desa Penglipuran terdapat dua jenis hutan yaitu hutan kayu dan hutan bambu.
Kedua jenis hutan ini merupakan warisan kebudayaan dari para leluhur terdahulu.  Sehingga keberadaan hutan kayu dan bambu di Desa ini tetap terjaga kelestariannya sampai sekarang. Upaya pelestarian kedua jenis hutan di Desa Adat Penglipuran ini merupakan upaya untuk tetap mempertahankan warisan kebudayaan yang telah ada sebelumnya, dimana didalamnya terkandung nilai nilai agama Hindu dan nilai spiritual tinggi. Untuk menjaga kelestarian hutan di Desa Adat Penglipuran ini, masyarakat disana menerapkan konsep nilai-nilai keagamaan agama Hindu seperti konsep Tri Hita Karana. Konsep ini merupakan konsep kebudayaan Bali yang digunakan untuk menjaga keharmonisan lingkungan yang berada di desa tersebut. Bentuk aplikasi nilai-nilai kebudayaan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat disana dalam hal untuk menunjang kelestarian hutan  dapat dilihat dari prilaku masyarakat Desa Penglipuran saat ini.
Pertama, adanya konsep “Hutan Due” yang telah disahkan pada awig-awig (peraturan) desa. Konsep “Hutan Due” yang berarti hutan yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Kayu atau pun hasil hutan yang ada di hutan itu hanya bisa digunakan untuk keperluan yadnya yang dilaksanakan untuk kepentingan upacara di pura adat. Jika ada orang yang mengambil hasil hutan pada hutan tersebut untuk kepentingan pribadi tanpa sepengetahuan aparat desa, maka akan dikenakan sangsi sesuai awig-awig yang telah disepakati.
Kedua, masyarakat Penglipuran memandang keserasian hubungan antara manusia dengan alam mengambil pengumpamaan “sekadi manik ring cacupu”. Manusia diumpamakan sebagai manik (janin), sedangkan alam sebagai cacupu (rahim). Konsep ini mengandung makna bahwa manusia hidup dilingkupi oleh alam, dan dari alamlah manusia memperoleh sarana untuk hidup. Dalam posisi itu jelas tampak bahwa manusia hidup bebas alam keterikatan dengan alam. Manusia bebas mengambil apa saja dari alam, tetapi dia wajib menjaga kelestariannya. Jika alam rusak, maka manusia pasti akan hancur. Atas dasar itu, sudah selayaknya masyarakat disana menaruh rasa hormat kepada alam yang diimplementasikan dengan berbagai upacara keagamaan, seperti upacara Tumpek pengatag (penghormatan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai pencipta tumbuhan). Tumpek kandang (penghormatan kepada Tuhan dalam manifestasinya  sebagai pencipta binatang) dan upacara ngusaba bantal (sebagai penghormatan kepada Tuhan atas hasil panen yang telah mereka nikmati).
Ketiga, adanya pendidikan tradisi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pengetahuan ini terkait dan "terbingkai" dalam kehidupan keseharian masyarakat setempat, seperti pada perilaku hidup dalam mengatasi permasalahan hidup dari berbagai ancaman manusia dan bencana alam (gempa bumi, hujan/banjir, dan petir), upacara ritual keagamaan, arsitektur bangunan- bangunan tradisional, berkesenian, dan sebagainya. Hal ini merupakan salah satu upaya dalam menjaga kelestarian warisan budaya di desa tersebut.
Bentuk hasil perilaku masyarakat Penglipuran untuk menjaga keharmonisan alam lingkungannya dapat terlihat dari masih lestarinya sungai Sangsang di sebelah Barat desa, lestarinya vegetasi hutan kayu yang berada disekitar Pura Puseh dan Penataran Desa Penglipuran, dan hutan bambu yang mengelilingi desa mereka. Disamping itu dalam mendukung pelestarian lingkungan di Desa Adat Penglipuran, pemerintah daerah juga ikut berpatisipasi dengan memberikan bantuan berupa penanaman pohon atau tanaman Bali di sekitar hutan tersebut.  Disamping itu, pemerintah RI juga telah memberikan  penghargaan Kalpataru kepada Desa Adat Penglipuran dalam upaya pelestarian hutan.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu.
1)      Desa Adat Penglipuran telah dibangun pada zaman Kerajaan Bangli, dimana penglipuran artinya ingat kepada tanah leluhur atau tempat asal mulanya. Desa Adat Penglipuran memiliki luas wilayah sekitar 112 Ha  yang terletak pada ketinggian 500 m - 600 m di atas permukaan laut dengan jumlah penduduk 832 jiwa dengan 193 KK. Desa Penglipuran memiliki berbagai adat-istiadat yang unik dan masih tetap lestari.
2)      Komunitas hutan di Desa Adat Penglipuran sebagian besar didominasi tanaman bambu. Dari total lahan seluas 112 ha, 75 ha adalah hutan bambu dan  10 ha hutan vegetasi, sementara sisanya merupakan pekarangan dan lahan pertanian.
3)      Upaya pelestarian hutan di Desa Adat Penglipuran dilakukan oleh masyarakat setempat serta kontribusi dari pemerintah. Masyarakat melestarikan hutan berdasarkan pada kearifan lokal setempat melalui konsep “hutan due”, serta implementasi Tri Hita Karana melalui upacara Tumpek pengatag, Tumpek kandang, dan upacara ngusaba bantal.

4.2 Saran
Upaya pelestarian hutan di Bali yang luasnya semakin lama terus menurun sebaiknya tidak hanya dikelola oleh pemerintah, namun juga melibatkan masyarakat setempat dengan berdasar pada kearifan budaya lokal.




Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan, 2002. Kebijakan Pariwisata Budaya Dalam perspektif Budaya Bali (Makalah Sarasehan Seni Sakral). Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.
Duija, I Nengah. 2002. Ekspresi Seni Masyarakat Tradisional Desa Adat Penglipuran Bangli Sebagai Sarana Pemujaan Kepada Tuhan (Kajan Bentuk, Fungsi, Dan Makna). Denpasar. Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Suastra, I Wayan. 2005. Disertasi : Merekonstruksi Sains Asli (Indigenous Science) Dalam Rangka Mengembangkan Pendidikan Sains Berbasis Budaya Lokal Di Sekolah ( Studi Etnosains Pada Masyarakat Penglipuran Bali). Bandung. Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia.